Monday, June 13, 2016

Crimson Butterfly : The Fatal Frame -Separation-


Hai... Kami tau kalau kalian ingin mengunduh dan menonton kelanjutan dari Proyek kami, tapi dikarenakan staff yang berhubungan project tersebut pada sibuk, maka project tersebut mengalami pending .. :(

Nah sambil menunggu project yang kalian tunggu rilis kembali, mari membaca kisah Fatal Frame 2 : Crimson Butterfly dalam gaya Novel :D beberapa dari kalian mungkin sudah ada yang memainkan game ini yah ..

sebenernya bukan aku yg nulis sih, tpi aku udah dapat izin dari Author asli ny :D


_________________________________________________________________________

Crimson Butterflies; The Fatal Frame


All characters belong to Tecmo.inc as this is only one of fan fiction from Playstation 2, X-box, and Nintendo Wii Game. With this disclaimer, author owe nothing with Tecmo-Koei.inc

Mengisahkan tentang event yang terjadi pada game Fatal Frame 2: Crimson Butterfly. Ditulis kembali dengan gaya novel dan alur cerita yang cukup detail sehingga dapat dinikmati bahkan tanpa harus bermain gamenya. Tentu saja jika reader pernah memainkan gamenya akan memudahkan untuk mengikuti kisah ini. Well... enjoy the story.

Genre : Adventure, Horror, Tragedy, Fantasy.

______________________________________________________________________________


Hour 5 : Separation


“I’m sorry... i have to go... someone is calling me...”
~Mayu Amakura.

“Bagaimana sekarang?” kata Mayu panik sementara hantu Miyako itu mulai berjalan mendekat berusaha memojokkan mereka. Mio segera menjepret kameranya sembarangan, lampu flash menyala berkali-kali namun Miyako tidak terganggu sedikitpun. Sebaliknya, hantu transparan itu malah semakin menyeringai kejam, berusaha menjangkau Mio kembali yang berhasil mengelak di antara celah tangan dan badan si hantu. Sayangnya, Mayu tidak seberuntung itu. Dengan sekali cengkeraman di leher, Mayu terdorong dan tak bisa lari di antara sudut dinding.

Mio bingung, dia sudah menduga kalau kamera yang didapatkannya tidaklah sehebat itu. Berniat memancing perhatian Miyako, Mio mencari apapun yang bisa dipakainya untuk melempar si hantu, kebetulan ada porselen kecil di atas lemari di sisinya. Namun alih-alih mengenai Miyako, porselen itu menembus badan transparannya begitu saja. Melihat Mayu yang menjerit membuat Mio semakin panik tak terkendali.

“Aku harus bagaimana? Harus bagaimana?” katanya meracau. Tiba-tiba saja, Mio menyadari lampu pada kamera yang masih dipegangnya terus menyala merah. Sebenarnya, setiap kali Miyako menampakkan diri, lampunya memang merah menyala dan kembali padam seiring menghilangnya sang hantu. Kalau kamera Obscura punya kemampuan deteksi yang tepat seperti itu, seharusnya kamera bersangkutan memang punya kemampuan mengusir hantu.

Mio teringat lagi dengan kata-kata Mayu yang menyindirnya tidak pandai menggunakan kamera, fakta bahwa Mio memang hanya asal jepret sedari tadi. Mio memutuskan untuk sekali lagi menuruti saran kakaknya, mengintip sang hantu melalui lubang kamera antik itu dan menyadari sesuatu yang berbeda.

Mio bisa melihat layar frame yang terdiri dari deretan tulisan kuno seperti mantera membentuk sebuah lingkaran. Memastikan sosok Miyako ada di tengah-tengah lingkaran. Mio sadar kalau frame kameranya mulai bersinar, deretan tulisan itu transparan pada awalnya, sebelum mulai bercahaya keemasan dan menjalar searah jarum jam. Mio tidak bisa menunggu lebih lama, takut Mayu tak bisa bertahan, Mio menjepret Miyako, menyebabkannya terdorong pelan. Walau terlihat masih kuat, setidaknya dia melepas Mayu dan menghilang.

Mio berlari mendekati kakaknya yang masih terbatuk-batuk.

“Kak, kau tidak apa-apa?” tanya Mio khawatir. Leher Mayu terasa dingin dan wajahnya tak bisa lagi dibilang hanya sekedar pucat.

“Jangan khawatirkan aku... hantunya belum pergi,” kata Mayu dengan napas memburu. Mio segera mengawasi sekitarnya dan benar saja, Miyako kembali muncul beberapa meter di depan mereka. Tampak tenang sebelum mulai mendekat lagi, hendak menyerang untuk kedua kalinya.

Mio mengulangi cara yang dilakukannya tadi, memastikan hantu yang berani menyerang kakaknya itu berada dalam jangkauan tangkap kamera. Frame gaib kamera pun kembali mengisi energinya searah jarum jam, kali ini Mio membiarkannya terisi penuh hingga seluruh lingkaran berubah merah. Saat Miyako sudah begitu dekat, Mio melepas energi kamera itu.

Lampu flash bersinar terang dibarengi terpentalnya si hantu dengan jeritan keras. Begitu kerasnya sehingga telinga Mio mendengung sakit. Miyako kembali menatap mereka, menangis sebelum menghilang lagi. Mio menoleh ke arah Mayu yang masih tak mampu berdiri di belakang. Mayu menggelengkan kepalanya dengan khawatir, tanda bahwa Miyako masih ada di ruangan itu, mengintai mereka entah dari mana.

Ini adalah pertama kalinya Mio merasa senang karena kakaknya memiliki indera keenam yang sensitif. Berkat Mayu, dia tidak terkecoh dengan hantu yang pura-pura menghilang itu.

“Mio!” seru Mayu seraya menunjuk sisi kanan adiknya. Mio pun mengerti dan segera mengarahkan kameranya. Miyako lagi-lagi menyeret kakinya yang transparan itu. Gerakannya kian lamban, sepertinya tembakan kuat sebelumnya telah membuat hantu itu melemah, Mio tentu saja memanfaatkannya untuk mengisi energi kamera.

Frame akhirnya bersinar merah tanda kekuatannya telah maksimal, Mio menjepretnya tanpa pikir panjang namun gagal. Miyako menghilangkan dirinya di saat-saat terakhir sebelum muncul kembali tepat di depan Mio. Panik, Mio menekan tombol kameranya dengan terburu-buru namun tak ada efek yang berarti selain bunyi “klik” lemah. Rupanya, ada jeda waktu beberapa detik sebelum frame gaib bisa digunakan kembali.

Sang hantu berhasil mencekik Mio. Mayu menjerit namun tubuhnya masih terlalu kaku untuk digerakkan. Mio sendiri berusaha melawan untuk beberapa lama sebelum dia segera lemas, hawa dingin menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhnya, detak jantungnya mulai melemah. Di saat-saat terakhir, Mio melemparkan kameranya kepada Mayu yang segera menangkapnya.

Mayu tidak membuang kesempatan yang Mio berikan. Dia menggunakannya dengan baik, mengarahkan kamera ke arah Miyako sementara frame mulai bersinar dari transparan menjadi kuning lalu merah menyala. Mayu menembak tepat ke arah wajah Miyako yang menjerit bahkan lebih keras dari sebelumnya. Hantu itu mundur beberapa langkah sembari menutup wajahnya karena kesakitan, wujudnya semakin memudar sebelum pengelihatan yang baru kembali menelan Mayu dan adiknya.

Seorang pria, pria surveyor yang tak lain adalah Masumi memasuki rumah Osaka dengan tubuh penuh darah dan baju yg robek parah. Berjalan memasuki kamar belakang, Miyako yang menyadari kepulangannya menyusul Masumi dengan khawatir. Masumi hanya berdiri diam, tidak mempedulikan Miyako yang memanggilnya. Lalu pembunuhan itu pun terjadi. Tanpa peringatan, Masumi mendorong Miyako, menindihnya sebelum mencekik lehernya dengan kuat. Miyako berusaha menjerit dan melawan, namun kakinya sendiri masih terluka dan badannya masih letih. Di detik-detik terakhir sebelum napasnya putus, Miyako bertanya pada kekasihnya itu dengan suara yang hampir hilang karena kerongkongannya yang telah hancur.

“Kenapa...?” tanya wanita malang itu sebelum semuanya hilang menyatu dalam kegelapan total.

Mio membuka matanya, pandangannya masih berkunang-kunang setelah pengelihatan barusan. Terbaring kaku dan tak bisa bergerak, badannya seperti mati rasa. Mio masih bisa melihat Mayu yang berusaha berdiri, menyeret kedua kakinya dan berjalan mendekat. Pandangannya semakin samar saat Mayu memegangnya. Mio masih berusaha menggenggam tangan sang kakak sebelum pingsan tak sadarkan diri.

***

Perlahan namun pasti, kesadaran Mio mulai kembali. Dia terbaring di atas kasur yang nyaman dengan selimut membungkus seluruh badannya, memberinya kehangatan ekstra di antara dinginnya malam.

Mio membuka matanya, pandangannya masih berkunang-kunang walaupun tidak separah sebelumnya.

“Kak?” panggil Mio yang berusaha mencari sosok Mayu. Dia masih mengucek-ngucek matanya sebelum sadar bahwa dia tertidur sendiri tanpa Mayu di sampingnya.

Panik, Mio segera bangun dan melihat sekitarnya sebelum sadar akan suara langkah kaki di luar ruangan. Berpikir bisa saja itu suara langkah kaki Mayu, Mio segera keluar dan mendapati Mayu yang sudah membuka pintu utama menuju luar desa dengan mudahnya. Sebuah pintu yang Mio yakin beberapa jam sebelumnya tak bisa dibuka sekuat apapun mereka mencoba.

“Kak! Kau mau kemana?” tanya Mio khawatir dari lantai dua.

Mayu berbalik dan memandang ke arah Mio sebentar. Ada perasaan aneh yang menjalar di batin Mio ketika melihat tatapan kakaknya itu. Satu hal yang pasti, sikap Mayu tidak seperti biasanya.

“Aku harus pergi... ada yang memanggilku...” kata Mayu sedih yang tentu saja tak bisa dipahami Mio.

“Pergi? Pergi kemana kak? Siapa yang memanggil kakak?” Tanya Mio sembari menuruni tangga dengan terburu-buru berusaha menyusul kakaknya.

“Maaf...” jawab Mayu lagi sebelum menutup pintu. Mio tak perlu berpikir panjang untuk menyusul kakaknya keluar. Namun gilirannya membuka pintu, lagi-lagi pintu itu membandel dan tak mau bergeser.

Ruangan mendadak menjadi berkabut dan Mio bisa mendengar suara-suara mengerikan bergema di seluruh bagian rumah.

Beberapa bayangan yang gelap, bahkan lebih gelap dari langit malam muncul dengan pelan. Seiring waktu, bayangan-bayangan itu mulai terlihat seperti pria tua, memakai yukata putih yang sudah lusuh dan robek tak beraturan. Wajahnya yang keriput mengingatkan Mio pada wajah mayat yang sudah lama diawetkan. Mulutnya terbuka lebar dan Mio tak bisa melihat apapun kecuali kegelapan yang kosong di dalamnya, kedua matanya juga sama gelapnya. Wujud hantu ini bahkan lebih mengerikan dari Miyako, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak sendirian. Jumlah mereka ada tiga sembari mendekat bersamaan berusaha mengepung Mio.

Fakta bahwa tiga hantu itu bergerak sangat lamban, bahkan lebih lamban dari Miyako, membuat Mio mampu bersikap lebih tenang. Walaupun begitu, tak ada alasan bagi Mio untuk tidak bertindak cepat, terlebih dia harus segera menyusul Mayu.

Mio berlari dengan lincah ke arah tangga sebelum menaikinya menuju kamar lantai dua, hendak mengambil kamera yang pernah menyelamatkan nyawanya itu. Dari pengalaman sebelumnya, Mio menyadari bahwa sentuhan dari hantu tersebut bisa sangat fatal dan karena hal itu, Mio berusaha menjaga jarak sejauh mungkin.

Mio mengambil tasnya kembali, mengaitkannya di badan seraya meraih kamera yang tergeletak di samping kasur tempat dia tertidur tadi. Karena kamera Obscura tersebut dilengkapi tali pengait yang terbuat dari kulit, Mio menggantungnya di leher, memudahkannya untuk menggunakan dan membawanya kemana-mana.

Sesaat setelah Mio menyambar senter di atas lemari, tiga hantu itu akhirnya menyusul dengan menembus dinding. Harus Mio akui kalau wujud mereka memang mengerikan, namun adalah lebih mengerikan baginya kalau dia harus kehilangan jejak Mayu. Tak mau membuang waktu lagi, Mio menaikkan kameranya. Lampu flash pun bersinar terang menyilaukan ruangan itu berkali-kali. Mio menghabisi tiga hantu itu dengan mudah.

***

Mio membuka pintu utama menuju luar desa tanpa kesulitan sekarang. Sepertinya memang hantu-hantu tadilah penyebab utama pintu tak mau bergeser. Buktinya setelah mengalahkan mereka, pintu bersangkutan bisa digeser bahkan tanpa perlu mengeluarkan tenaga sedikitpun.

Mio menemukan sesuatu yang berkilau di lantai di ruang tunggu yang ternyata adalah kalung milik Mayu yang berbentuk Magatama. Kalung tersebut sebenarnya ada dua, dan yang satunya lagi dipakai oleh Mio. Mata kalung milik Mio berbentuk magatama berwarna putih sementara punya Mayu berwarna cokelat terang dan kalau keduanya disatukan akan membentuk simbol yin dan yang.

Kalung itu diberikan oleh ibu mereka saat Mio dan Mayu masih kecil dengan pesan bahwa jika saja Mio dan Mayu harus terpisah, maka kalung itu akan membantu mereka untuk saling bertemu kembali. Melihat Mayu meninggalkan kalung itu begitu saja membuat perasaan Mio semakin tidak enak. Setelah memungut kalung Mayu dan menyimpannya ke dalam tas, Mio pun bergerak maju membuka pintu terakhir rumah Osaka.

Mio kembali menghirup udara segar setelah berhasil menjejakkan kakinya di luar rumah. Dia segera berlari lebih jauh memasuki desa yang masih penuh misteri itu. Bukankah tadi Mayu mengatakan kalau ada seseorang yang memanggilnya? Hal paling logis yang bisa Mio pikirkan adalah Mayu tidak mungkin ke arah hutan, mengingat tidak ada seorang pun di sana selain beberapa obor dan batu nisan serta gerbang kuil yang rusak. Walaupun bisa jadi yang memanggil Mayu bukan manusia.

Mio berlari melewati beberapa reruntuhan rumah tanpa penerangan obor sama sekali, praktis membuat jalan di sekitarnya lebih gelap dari biasanya. Untungnya, senter yang ditemukan Mio masih bekerja dengan baik. Mio tidak takut senter itu kehilangan energi karena dia masih memiliki empat baterai cadangan.

Jalan di desa sendiri akhirnya membelok ke kanan dan tepat di sana, Mio melihat ada dua rumah yang bahkan lebih besar dari rumah Osaka. Dibangun secara artistik dan terletak berdampingan dengan jalan desa sebagai pemisahnya. Kedua atap rumah itu sama bentuknya namun yang paling unik adalah adanya sebuah jalan khusus, berbentuk jembatan panjang yang penuh ukiran unik di kedua sisinya, menghubungkan kedua rumah itu satu sama lain di lantai atas dua rumah besar itu.

Mio menyipitkan matanya seraya menyinari jembatan unik itu dengan senter. Dia bisa melihat papan kecil menempel di dindingnya.

“Jembatan Langit...?” ucap Mio penasaran setelah membaca papan kecil itu. Mendadak saja, Mio mendengar suara seperti gerbang yang dibuka tak jauh dari tempatnya berada. Penasaran, Mio pun berlari ke arah sumber suara melewati jembatan dan dua rumah unik itu.

Jalan berujung buntu dengan sebuah gerbang tinggi besar yang terbuka lebar. Mio melihat Mayu yang berjalan pelan melewati gerbang itu, berusaha memanggil sang kakak namun lagi-lagi panggilan Mio tidak digubris olehnya. Sama persis dengan kejadian saat Mayu mengejar kupu-kupu di hutan dimana Mayu tidak peduli dengan panggilan Mio sedikitpun.

“Kak...! kau mau kemana?” seru Mio sembari mengejar namun terlambat saat gerbang itu menutup sendiri dengan cepat begitu Mayu sudah melewatinya. Bunyi "klik" keras terdengar dua kali membuat Mio tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gerbang itu baru saja mengunci dirinya sendiri, seolah-olah mengerti kalau Mio hendak menerobosnya.

Mio memperhatikan gembok kuncinya yang rumit, berbentuk sepasang kupu-kupu dengan dua lubang yang aneh di dua sisinya. Mio menyadari dibutuhkan dua kunci untuk membuka gerbang besar itu. Menyelidiki lebih jauh, Mio mendengar bunyi arus air yang deras, membuatnya berpikir adanya sungai yang membentang di sana.

“KAK...! APA KAU BISA MENDENGARKU?” Seru Mio nyaring namun sia-sia saja karena tidak ada jawaban dari Mayu.

Mio mencari dinding gerbang yang lebih rendah dengan niat ingin mencoba memanjatnya. Sayangnya, dinding itu dibangun dengan ketinggian yang sama dan tentu saja Mio tak mungkin memanjat apalagi melompatinya.

Tiba-tiba saja, Mio mendengar suara ribut-ribut, cahaya misterius mendekat dari belakang yang ternyata berasal dari obor tiga orang yang berjalan mendekat. Sesaat, Mio merasa senang karena mengira ada orang lain selain dirinya di desa yang aneh itu, walaupun dia harus kecewa setelah menyadari bahwa tiga orang yang berpenampilan seperti petani itu berbadan transparan.

Wajah mereka samar dan tidak jelas walaupun Mio masih bisa melihat sedikit ekspresi di sana. Salah satu dari mereka tampak membawa galah yang cukup panjang seraya memandang Mio dengan galak. Mio menyadari bahwa obor dan galah mereka juga terlihat sama transparannya dengan wujud mereka.

Mio kesal, merasa bahwa hantu-hantu yang ditemuinya sejak tadi sepertinya memang berniat ingin menjauhkannya dari Mayu. Siap dengan kameranya, Mio pun mulai beraksi, namun tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari ada sesuatu yang aneh dengan senjata andalannya itu.

Kamera Mio terasa lebih lemah. Saat Mio menembak dengan frame gaib terisi penuh, hantu-hantu itu memang terpental, namun sepertinya mereka tidak merasakan sakit sedikitpun.

Melihat gerak-gerik mereka yang sama lambannya dengan hantu pria tua di rumah Osaka, Mio menyadari kalau dia bisa melarikan diri dengan mudah. Walaupun begitu, Mio merasa berat untuk meninggalkan gerbang yang memisahkannya dengan sang kakak itu. Ngotot, Mio mencoba menembak dengan kameranya lagi yang terbukti tidak banyak membantu. Hantu-hantu itu hanya terseret mundur beberapa langkah sebelum kembali berusaha mendekati Mio dengan maksud ingin mengepungnya.

Mio semakin terpojok dan tak ada jalan untuk lari sekarang, kecuali kalau dia nekat melewati tiga sosok hantu itu. Mio berpikir bahwa situasi tak bisa lebih buruk lagi dari ini yang ternyata adalah sebuah kesalahan besar. Salah satu dari tiga hantu yang memegang obor itu berteriak menyeramkan.

“NONA YAE TELAH KEMBALI...! DIA ADA DI DESA...” seru hantu itu kasar dilanjuti dengan obor api yang secara bersamaan menyala di seluruh sudut desa. Sepertinya, semua hantu penduduk di desa itu terbangun karena teriakan tadi, siap mengepung Mio yang kini tak punya jalan untuk lari.

End of Hour 5.

Shall continue on the next one; Hide and Seek

Labels: , ,

Saturday, June 11, 2016

Crimson Fatal Frame : The Fatal Frame -Mystery of Miyako Sudo-


Hai... Kami tau kalau kalian ingin mengunduh dan menonton kelanjutan dari Proyek kami, tapi dikarenakan staff yang berhubungan project tersebut pada sibuk, maka project tersebut mengalami pending .. :(

Nah sambil menunggu project yang kalian tunggu rilis kembali, mari membaca kisah Fatal Frame 2 : Crimson Butterfly dalam gaya Novel :D beberapa dari kalian mungkin sudah ada yang memainkan game ini yah ..

sebenernya bukan aku yg nulis sih, tpi aku udah dapat izin dari Author asli ny :D


_________________________________________________________________________

Crimson Butterflies; The Fatal Frame


All characters belong to Tecmo.inc as this is only one of fan fiction from Playstation 2, X-box, and Nintendo Wii Game. With this disclaimer, author owe nothing with Tecmo-Koei.inc

Mengisahkan tentang event yang terjadi pada game Fatal Frame 2: Crimson Butterfly. Ditulis kembali dengan gaya novel dan alur cerita yang cukup detail sehingga dapat dinikmati bahkan tanpa harus bermain gamenya. Tentu saja jika reader pernah memainkan gamenya akan memudahkan untuk mengikuti kisah ini. Well... enjoy the story.

Genre : Adventure, Horror, Tragedy, Fantasy.

______________________________________________________________________________


Hour 4 : Mystery of Miyako Sudo

“I kept searching for you...”
~Miyako Sudo in Osaka House

Pintu bergeser kecil, sangat kecil sehingga hanya menyisakan sedikit celah yang Mio yakini bahkan tak cukup untuk mengintip. Anehnya, suara itu kini hilang tak berbekas, walaupun perasaan diawasi oleh seseorang belum hilang dari perasaan mereka. Mayu dan Mio saling pandang sebelum menelan ludah.

“Mio... aku merasa ada seseorang di balik pintu itu?” Kata Mayu yang jelas sekali tak bisa menyembunyikan rasa takut dari suaranya. Mio sebaliknya, berusaha mengumpulkan semua keberanian yang dia miliki sembari menarik Mayu agar mundur dan berlindung di belakang.

“Siapa di sana?” tanya Mio galak, sadar kalau dia harus tampak kuat di depan Mayu atau kakaknya itu akan semakin ketakutan.

Mio menunggu dengan tidak sabaran, sebelum sadar kalau seseorang, atau sesuatu di balik pintu itu sepertinya tak pernah berniat untuk menjawab. Frustasi dan penasaran, Mio memberanikan diri untuk maju hendak membuka pintu. Mayu menahannya dengan terus memegang erat tangan Mio, tak rela adiknya mengambil resiko yang berbahaya seperti itu.

Mio menatap Mayu pelan, mereka tetap saling pandang selama beberapa detik sebelum Mayu mengerti dan melepaskan cengkeraman tangannya. Perlahan namun pasti, Mio berjalan mendekati pintu, dia bisa merasakan kaki dan tangannya yang gemetar sedari tadi. Terlepas dari keberanian kecil yang diperlihatkannya pada Mayu, betapa herannya Mio karena semua itu telah menguap dengan cepat oleh hawa dingin yang menyelimutinya.

Mio menggeser pintu itu secukupnya, setidaknya cukup untuk sekedar mengintip pelan dan dia memang melakukannya. Sesaat, Mio berharap agar kedua matanya lah yang ngawur. Mio melihat seorang wanita, berambut panjang, wajahnya pucat dengan mata yang penuh kebencian sedang menatapnya. Mata mereka berpas-pasan, sangat dekat sehingga Mio merasa pandangan mata wanita itu telah membekukan seluruh jiwanya.

“Mio!” seru Mayu khawatir yang segera menarik tangan adiknya itu, menjauhinya dari pintu.

Wujud wanita itu terlihat seluruhnya sekarang. Dia berdiri dengan sebagian tubuhnya menembus pintu, hal yang membuktikan kalau dia bukan manusia. Ruangan itu segera saja terasa lebih dingin menusuk, Mayu bahkan jatuh terduduk karena lemas.

Pikiran Mio bekerja cepat, dia tak bisa memikirkan apa pun lagi selain mencari cara agar menjauhkan sosok hantu itu sejauh mungkin, dan kamera yang tadi ditemukannya muncul begitu saja di benaknya. Bukankah kamera itu bisa mengusir hantu? Tapi bagaimana dengan resikonya? Memo yang baru ditemukan Mio memperingatkannya agar sebisa mungkin untuk tidak menggunakan kamera tersebut, tapi antara mati dan menanggung resiko? Tentu saja Mio mengambil pilihan kedua. Lagipula dia harus melindungi Mayu.

Mio segera menyambar kamera yang ada di dekatnya, menyadari adanya lampu kecil pada kamera yang menyala terang berwarna merah. Mio tidak mengerti apa maksudnya dan memang itu tidak penting, setidaknya untuk sekarang. Tanpa pikir panjang, Mio menggunakan kamera itu dan menjepret sang hantu berkali-kali karena gugup. Sang hantu tidak terlihat kesakitan atau merasa terusik walaupun sosoknya memang menghilang yang tentu saja membuat Mio menghela napas lega.

“H-hilang...” ujar Mayu bengong sementara Mio sudah memeriksa kameranya kembali, merasa aneh karena lampu kecil yang tadi bersinar merah terang kini kembali redup sebelum padam total.

“Ayo... kita tinggalkan tempat ini...” kata Mayu gelisah. Dia berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang masih lemas. Mio mengangguk sembari membantunya. Dengan terburu-buru, mereka berjalan menuju pintu keluar hanya untuk menyadari kalau pintunya tak bisa dibuka, tak peduli sekuat apa Mio berusaha menggesernya.

“Kenapa di saat seperti ini...?” protes Mio kesal, masih berusaha membuka pintu dengan semua tenaga yang dia miliki tanpa hasil berarti. Jangankan terbuka, bergeser satu inci pun tak bisa, seolah-olah ada kekuatan aneh yang menahan pintu itu.

“Mio...!” seru Mayu tiba-tiba yang tentu saja mengagetkan saudaranya itu. Segera berbalik, Mio kembali merasakan hawa dingin yang menusuk itu lagi. Hantu wanita tadi kembali muncul, begitu nyata terlepas dari sosoknya yang sedikit transparan. Mio sadar kalau wanita itu tak lain adalah wanita yang sama dengan yang mereka lihat dalam pengelihatan Mayu. Ekspresi wanita itu begitu sedih, dia memandang dua saudara kembar itu dengan ekspresi kosong sebelum berpaling, berjalan menembus pintu geser ganda di samping tangga yang pernah Mio buka sebelumnya namun tak berhasil. Mio dan Mayu sendiri masih berdiri diam di depan pintu utama, bengong.

Sadar kalau penampakan sang hantu telah usai, Mio kembali berusaha membuka pintu keluar untuk kesekian kalinya. Kesal karena pintu tak mau bergeser, Mio menendangnya begitu keras walau pintunya tetap bergeming tak bergerak

“Sialan... jelas-jelas kita membukanya dengan mudah saat masuk tadi,” keluh Mio marah.

Mayu sendiri masih terus-terusan menatap pintu geser ganda yang dimasuki si hantu sebelumnya. Tampak berpikir sebelum ia menoleh pada Mio.

“Mio...” kata Mayu pelan. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu sebelum kembali menutup mulutnya. Merasa ragu dengan apa yang ingin dia katakan.

“Kau punya ide kak?” tanya Mio tak sabaran.

“B-bagaimana kalau hantu wanita tadi... sengaja tak mau membiarkan kita pergi...?” tanya Mayu cemas.

Mio berusaha mencerna maksud kalimat Mayu.

“Maksud kakak... kita harus mengenyahkan hantu itu dulu...?” kata Mio tak yakin.

“A-aku juga tidak tahu,” jawab Mayu. “Dia juga tersesat di sini, ingat? Dia terbunuh oleh pria bernama Masumi itu. Kupikir... Kalau kita bisa menyelidiki apa yang terjadi pada mereka... mungkin saja kita...” kata Mayu tak selesai. Dia masih tampak bingung.

Mio menghela napas, memutuskan untuk sekali lagi menggeser pintu keluar yang masih ngotot tak mau bergerak. Sadar tak punya banyak pilihan, Mio mulai mempertimbangkan ide Mayu sembari memandang pintu geser ganda yang ada di depan mereka.

“Aku juga tidak yakin ini ide yang baik,” kata Mayu tiba-tiba. “Tapi, pilihan apa lagi yang kita punya?”

“Jangan khawatir kak, kita pasti bisa keluar,” kata Mio cepat, berusaha memberi rasa aman pada Mayu. Mio menaikkan kamera yang ditemukannya walaupun secara pribadi, dia masih sulit mempercayai kemampuan benda antik tersebut. Perlahan namun pasti, mereka mulai melangkah mendekati pintu geser ganda itu.

Mio dan Mayu sudah berdiri di depan pintu sekarang, namun sebuah keraguan muncul di benak mereka. Perasaan takut yang menyelimuti membuat mereka terus berpikir yang bukan-bukan. Bagaimana kalau hantu itu berniat jahat? Bagaimana kalau hantu itu muncul lagi secara tiba-tiba dan menyerang mereka? Dan yang paling parah, bagaimana kalau kamera yang dipegang Mio hanyalah benda antik biasa? Memo yang ditemukannya pun jangan-jangan cuma karangan indah pria bernama Seijiro Makabe, dan menghilangnya hantu wanita tadi saat di jepret Mio di ruang belajar hanyalah sebuah kebetulan? Sudah pasti Mio cukup cekatan kalau soal melarikan diri, tapi bagaimana dengan Mayu? Mio menoleh ke belakang, melirik pintu keluar dan berharap ada mujizat yang membuat pintu itu terbuka tanpa sebab walaupun tentu saja dia tak berharap banyak dengan khayalan bodoh seperti itu.

Mayu yang menyadari ketakutan Mio memegang tangannya lagi.

“Mio... kalau terjadi sesuatu, akan kupastikan kau punya waktu untuk lari,” kata Mayu tersenyum. Sebuah senyuman yang menggetarkan hati adiknya itu. Tak bisa berkata-kata, Mio membalas genggaman tangan Mayu. Sorot matanya berubah dan keberanian yang entah dari mana meledak-ledak di dadanya.

“Kita pasti bisa pulang kak, pasti...” kata Mio sebelum menggeser pintu di depannya.

Pintu geser ganda itu dibuka Mio dengan mudahnya. Hal yang ironis mengingat Mio hampir mematahkan tangannya saat dia berusaha menggeser pintu itu pertama kali. Ruangan yang mereka masuki ternyata adalah sebuah kamar tidur yang lembap, cahaya remang dari lampu minyak yang tergantung lemah di salah satu sisi dinding menyelimuti dengan lesu. Di sisi kiri adalah sebuah jendela panjang dengan taman kecil yang gelap sebagai pemandangannya. Mio menatap jendela itu cukup lama hanya untuk memastikan tidak ada wujud atau sosok aneh yang sedang mengintip mereka. Kamarnya sendiri sebenarnya cukup sempit dengan dua kasur terbaring kaku di lantai. Salah satunya dikelilingi tirai kain tipis yang sudah robek dan kusam karena sudah lama tak dicuci.

“Perasaanku tidak enak... seperti ada yang sedang melihat kita,” kata Mayu membuka keheningan yang tentu membuat Mio semakin waspada.

“Kak... jangan ngomong yang seram-seram,” kata Mio memohon yang dibalas Mayu dengan senyum aneh. Tentu saja Mio tahu kalau Mayu tidak sedang berbohong. Hanya saja, Mio akan sangat berterimah kasih kalau kakaknya itu berhenti mengatakan kata-kata yang menciutkan keberaniannya. Tanpa bumbu-bumbu dari Mayu pun, ruangan tempat mereka berada sekarang ini juga sudah seram.

Mio mendekati sebuah lemari panjang di samping kasur yang ada tirainya, memeriksa jikalau ada barang yang bisa dimanfaatkan walaupun terbukti apa yang ada di dalam lemari hanya tumpukan debu dan beberapa boneka khas jepang yang mengerikan. Memutuskan kalau tak ada barang yang berguna, Mio hendak angkat kaki dari ruangan itu sebelum matanya menangkap sesuatu di atas kasur. Sebuah buku merah tergeletak di samping bantal zaman dulu. Mio memeriksa buku itu yang ternyata adalah sebuah buku harian.

“Buku apa yang kau temukan?” tanya Mayu yang berdiri di dekat jendela sembari terus waspada.

“Sebentar,” jawab Mio sebelum memutuskan untuk membacanya dengan bantuan senter mengingat cahaya lampu minyak tak akan cukup bagi matanya. Mio membaca buku harian itu dengan penuh konsentrasi sementara Mayu terus mengawasinya. Angin malam yang dingin berhembus masuk melalui jendela membuat keduanya merinding. Tak tahan dengan suasana di sana, Mayu kembali mendesak Mio.

“Bagaimana?” tanya Mayu lagi. Mio masih membaca untuk beberapa detik lamanya sebelum dia sibuk membolak-balik buku tersebut dengan ekspresi bingung.

“Buku hariannya hilang sebagian...” kata Mio penasaran. “Sepertinya dirobek dengan sengaja.”

“Memangnya buku itu milik siapa?” tanya Mayu sembari berjalan mendekati Mio.

“Buku harian ini milik seorang wanita bernama Miyako Sudo... dan dia adalah kekasihnya Masumi si pria surveyor itu...” jawab Mio lirih sementara Mayu menutup mulutnya karena kaget.

“Ini buku harian hantu wanita yang kita lihat tadi kan? Apa saja yang tertulis di sana?” tanya Mayu penasaran.

“Miyako nekad mencari Masumi di hutan karena yakin kekasihnya itu masih hidup terlepas dari petugas berwajib yang sudah berhenti mencarinya. Secara tak sengaja, Miyako malah tersesat di desa ini. Anehnya, di buku tertulis kalau Miyako berhasil bertemu dengan Masumi. Mereka bahkan berusaha mencari jalan keluar bersama. Suatu kali, Miyako terjatuh dan terluka kakinya sehingga dia susah berjalan. Karena itulah, Masumi memutuskan untuk meninggalkannya di rumah ini sembari dia mencari cara keluar dari desa,” jelas Mio panjang lebar.

Dahi Mayu berkerut. “Semuanya tampak lancar, lalu alasan Masumi membunuh kekasihnya?”

“Entahlah... buku harian ini hilang sebagian, tak ada kelanjutannya,” jawab Mio lesu sembari membongkar kasur di sekitarnya. Alih-alih menemukan sisa buku harian Miyako, Mio malah menemukan sebuah kunci dengan ukiran bunga yang sedikit berkarat di ujungnya. Berpikir kalau kunci tersebut mungkin ada gunanya, Mio memasukkannya ke dalam tas yang terlilit di badannya.

“Kau seperti pemungut barang bekas saja?” cibir Mayu yang hanya dibalas Mio dengan cengiran.

“Siapa tahu berguna,” jawab Mio cepat. Dia mengeluarkan foto Masumi dan Miyako serta kliping korannya dari tas karena berpikir tak ada gunanya lagi untuk disimpan. Mio mengecek tasnya dengan seksama.

“Sarung tangan, empat baterai senter, empat set film biru, dua set film hijau, dan kunci...”

“Sebenarnya aku lebih suka kalau ada air minum di sana,” potong Mayu kecewa. “Kau haus tidak? Aku tidak yakin ada air bersih di desa, tapi sepertinya langit sedang mendung, semoga saja sebentar lagi hujan turun,” ujarnya sembari menoleh ke luar jendela dan memperhatikan kondisi langit yang gelap gulita.

Mio sendiri hanya mengiyakan, dia baru sadar kalau mereka tidak minum sedari tadi dan kerongkongannya memang sudah kering. Melihat kondisi rumah Osaka yang menyedihkan, sepertinya memang hanya hujanlah yang bisa menjawab kebutuhan mereka akan air bersih.

Sedikit banyak, Mio bersyukur tentang fakta bahwa mereka tidak bertemu hantu Miyako di ruangan tersebut. Merasa tak punya kepentingan lagi di sana, Mio mengajak Mayu untuk keluar dari kamar itu.

Mereka kembali ke ruangan utama dan hawa dingin kembali terasa. Hantu Miyako lagi-lagi muncul, tampak sedang menaiki tangga menuju lantai dua sebelum Mio memutuskan untuk menjepretnya dengan kamera. Sosok Miyako lagi-lagi menghilang dengan pelan. Melihat hal ini, Mio semakin ragu mengenai kemampuan kamera yang ditemukannya.

“Aku semakin tidak yakin dengan kamera ini,” kata Mio akhirnya. “Hantu kan memang bisa hilang dan muncul sesuka hati, kalau kamera ini punya efek tertentu, mestinya hantu itu merespon kan? Kesakitan kah? Menjerit kah?” ujar Mio.

“Mungkin karena kau tidak menggunakannya dengan benar,” balas Mayu cemas. “Kau kan hanya asal jepret... yang namanya mengambil foto, kau harus mengintip objek melalui lubang kameranya kan?”

Mio pangling, walau dia mencoba juga kata-kata Mayu dengan mengintip kakaknya itu melalui lubang kamera.

“Tidak ada bedanya,” kata Mio sebelum melanjutkan. “Jadi... kita naik ke lantai dua tidak, kak?” tanyanya yang direspon Mayu dengan sekali anggukan. Mereka menatap tangga yang rapuh itu. Keduanya ragu apakah tangga itu bisa menopang berat badan mereka.

“Sebenarnya, aku melihat tangga lain di koridor belakang yang sepertinya menuju lantai dua juga,” kata Mayu.

“Kita lewat sana saja kalau—”

“Tapi tempatnya sempit... dan gelap,” potong Mayu lagi.

“Kalau begitu kita lewat sini saja...” balas Mio lemas sembari berusaha menaiki tangga miring itu. Di luar dugaan, tangga itu lebih kuat dari penampilannya yang reyot. Mio memberi aba-aba pada Mayu agar menaikinya juga.

Di lantai dua, mereka menemukan sebuah pintu yang terkunci. Mio segera menduga kalau kunci yang ditemukannya di ruangan kamar tidur adalah kunci yang dibutuhkan untuk membuka kamar tersebut. Hebatnya, dugaan Mio terbukti tepat saat bunyi "klik" kecil terdengar. Mio pun membuka pintu tersebut dengan pelan demi sebuah kewaspadaan.

Ruangan itu tampak paling besar jika dibandingkan dengan semua ruangan yang ada di lantai satu. Beberapa kimono tergantung rapi di tempatnya. Sebuah kasur besar tergeletak di sudut. Yang membedakannya dengan kamar tidur lantai bawah adalah fakta bahwa kasur di lantai dua ini tampak bersih dan layak dipakai. Mio sudah mau berbaring di sana andai saja dia tidak melihat sebuah buku di tengah-tengah ruangan. Karena cahaya di kamar itu cukup terang, tentu saja buku itu mencolok sekali.

“Mungkin itu buku harian Miyako yang hilang?” kata Mayu pada adiknya. Mio sendiri punya pemikiran yang sama sembari dia mendekati buku itu dan memeriksanya. Tak butuh waktu lama baginya untuk memutuskan duduk dan membaca buku harian tersebut.

Mayu ikut-ikutan mengintip dari belakang sementara Mio yang selesai membaca menyadari sesuatu.

“Miyako terluka dan beristirahat di ruangan ini, sementara Masumi pergi menyelidiki rumah ‘kediaman Kurosawa’ demi mencari jalan pulang," cerita Mio pada kakaknya.

“Rumah ‘kediaman Kurosawa’?” tanya Mayu bingung.

“Aku tidak tahu pasti yang mana... mestinya masih salah satu rumah di desa ini,” jawab Mio. “Buku ini tidak cerita banyak, di halaman terakhir, Miyako hanya menulis kalau Masumi pulang dengan badan bersimbah darah dan berjalan lunglai ke ruangan di belakang rumah. Miyako pun memutuskan untuk menyusul Masumi ke sana. Menurut kakak bagaimana? Kita belum sempat memeriksa kamar paling belakang di rumah ini kan? Jangan-jangan di sana lah Miyako terbunuh... kak Mayu... kenapa diam saja?” tanya Mio akhirnya setelah menyadari kakaknya tidak merespon sedari tadi. Mio menoleh ke arah Mayu yang tampak kaget, perlahan-lahan mundur beberapa langkah dengan ekspresi ngeri.

“Kau kenapa kak?” tanya Mio bingung sementara Mayu terlihat butuh tenaga ekstra untuk menjawab pertanyaannya. “M-mio... di s-sampingmu...” kata Mayu dengan suara bergetar.

Mio akhirnya mengerti setelah menyadari hawa sejuk yang luar biasa menyelimuti dirinya. Punggung dan lengan serta tangannya seperti mati rasa. Tak ingin mengagetkan dirinya sendiri, Mio perlahan-lahan menoleh ke arah sumber hawa dingin yang menusuk itu. Seorang wanita, berambut panjang hitam dengan mata yang melotot penuh dendam, menatapnya dengan dingin.

Sosok Miyako muncul begitu dekat dengan Mio, mata mereka bertemu satu sama lain untuk kedua kalinya.

“Kenapa...?” bisik hantu itu menyeramkan. Mio merayap ke belakang dengan tubuh gemetar sementara sang hantu mulai bangkit. Di antara semua penampakan sebelumnya, sosok Miyako paling jelas di sini, dia masih tampak cantik andai saja matanya tidak melotot seperti itu, memakai kemeja putih dengan rok hitam sederhana, Miyako Sudo menatap Mio dengan ekspresi yang mengerikan.

“Aku terus mencarimu...” kata Miyako dengan suara serak yang aneh, suaranya terdengar tidak seperti suara manusia lagi. Setelah mengatakan hal itu, dia berusaha menjangkau Mio dengan tangannya, wajahnya yang dingin benar-benar menyembunyikan nafsu membunuhnya.

Mio panik, berusaha melepaskan dirinya dari Miyako sembari menjerit. Tangan kirinya yang berhasil disentuh Miyako terasa semakin dingin dan lemas. Mio segera menyadari kalau beberapa sentuhan telak dari hantu itu lebih dari cukup untuk membunuhnya. Untungnya, Mayu tidak meninggalkannya sendirian. Menarik badan Mio, Mayu segera membantunya berdiri. Mereka mencoba untuk kabur melalui satu-satunya pintu keluar di ruangan itu yang sialnya malah menutup sendiri dengan suara berdebam yang keras. Mio berusaha membukanya namun pintu tak mau bergerak. Tak ada tempat untuk lari, Mio berbalik dan melihat Miyako masih menatap mereka sembari menyeringai mengerikan.

End of Hour 4.

Shall continue on the next one; Separation

Labels: , ,

Tuesday, June 7, 2016

Crimson Butterfly : The Fatal Frame -The Camera Obscura-


Hai... Kami tau kalau kalian ingin mengunduh dan menonton kelanjutan dari Proyek kami, tapi dikarenakan staff yang berhubungan project tersebut pada sibuk, maka project tersebut mengalami pending .. :(

Nah sambil menunggu project yang kalian tunggu rilis kembali, mari membaca kisah Fatal Frame 2 : Crimson Butterfly dalam gaya Novel :D beberapa dari kalian mungkin sudah ada yang memainkan game ini yah ..

sebenernya bukan aku yg nulis sih, tpi aku udah dapat izin dari Author asli ny :D


_________________________________________________________________________

Crimson Butterflies; The Fatal Frame


All characters belong to Tecmo.inc as this is only one of fan fiction from Playstation 2, X-box, and Nintendo Wii Game. With this disclaimer, author owe nothing with Tecmo-Koei.inc

Mengisahkan tentang event yang terjadi pada game Fatal Frame 2: Crimson Butterfly. Ditulis kembali dengan gaya novel dan alur cerita yang cukup detail sehingga dapat dinikmati bahkan tanpa harus bermain gamenya. Tentu saja jika reader pernah memainkan gamenya akan memudahkan untuk mengikuti kisah ini. Well... enjoy the story.

Genre : Adventure, Horror, Tragedy, Fantasy.

______________________________________________________________________________



Hour 3 : The Camera Obscura

"So, this is the Camera Obscura... it takes pictures of impossible things."

~Seijiro Makabe

Mio dan Mayu sudah mengambil keputusan final, mereka harus mencari tahu tentang kemungkinan adanya bantuan yang bisa mereka dapatkan dari wanita yang mereka lihat sebelumnya. Walau sejujurnya, terlintas di pikiran mereka kalau bisa jadi wanita itu bukan manusia. Terlepas dari perasaan mencekam yang mereka miliki, masing-masing dari mereka mengerti kalau tidak membicarakan wanita yang mereka lihat itu sebagai hantu adalah hal yang paling baik.

Mio menggeser pintu masuk ke ruangan utama rumah Osaka itu dengan pelan diiringi suara derak yang menyeramkan. Perlahan, mereka menginjakkan kaki ke ruangan tamu yang cukup luas, disambut oleh debu yang beterbangan dan bau apek yang pekat.

Ruangan itu diterangi oleh lilin putih yang dipasang di dekat pintu masuk. Walaupun hanya sebuah lilin, sinarnya mampu menyinari seluruh ruangan. Interiornya sendiri sudah sangat tua dengan hampir semua dindingnya sudah lapuk dimakan ngengat. Beberapa sekat dinding yang terbuat dari kayu tampak rusak dan tergeletak di sudut dalam waktu yang lama, terlihat kusam dan kotor. Tepat di tengah ruangan, ada tempat pembakaran sederhana beserta kuali yang penuh karat tergantung miring di atasnya. Beberapa langkah dari tempat pembakaran, ada pintu geser lagi, begitu juga di atasnya yang merupakan kamar lantai dua. Untuk ke sana, mereka harus menaiki tangga yang sudah miring dan reyot, satu-satunya keinginan terakhir yang ingin dilakukan Mio.

Tepat di depan Mio, sebuah jalan sempit memanjang membentuk koridor, berpikir semestinya ada ruangan yang lebih aman di sana untuk diperiksa, Mio bermaksud ingin melihat lebih dalam.

"Kak, ayo kita-" kata-kata Mio terhenti setelah dia menyadari ada yang tidak beres dengan Mayu. Kakaknya itu entah sejak kapan terus menggigil seperti kedinginan. Mayu seperti melihat sesuatu yang entah kenapa, tidak bisa dilihat oleh Mio.

"Mayu?" tanya Mio penasaran. Berniat menenangkan kakaknya, Mio memutuskan untuk menggenggam tangan Mayu seperti biasa dan apa yang terjadi kemudian sungguh tidak masuk akal.

Ada sesuatu, terasa seperti listrik yang merambat cepat ke dalam kepala Mio diikuti oleh suara-suara aneh. Mio segera saja merasa pusing dan hendak melepaskan tangannya dari Mayu karena terkejut namun tidak bisa, Mayu mencengkeram tangannya dengan kuat. Sebuah pengelihatan aneh pun masuk begitu saja ke dalam pikiran Mio.

Sebuah ruangan yang kotor dan tua, ruangan yang sangat familiar karena Mio baru saja melihatnya, ruangan yang tidak lain adalah rumah Osaka itu sendiri. Namun ada yang janggal, seisi rumah tampak hitam putih dan perasaan apakah ini? Mio merasa sangat tidak nyaman, seolah-olah ada sesuatu yang siap mengancam nyawanya kapan saja.

"Masumi..." panggil seorang wanita yang entah muncul dari mana, membawa sebuah senter, dia tampak begitu cemas. Mio yakin dari gerak-geriknya kalau dia sedang mencari seseorang di rumah ini. Seseorang bernama Masumi.

"Masumi... kau di mana?" panggil wanita itu lagi. Suaranya menggema begitu saja di dalam pikiran Mio, terasa menakutkan dan efektif membuat bulu kuduknya merinding terlepas dari tubuhnya yang kaku dan tak bisa bergerak. Mio yakin kalau Mayu juga mengalami hal serupa.

Penampakannya berubah lagi, kali ini sosok seorang pria berjalan sempoyongan, wajahnya tidak kelihatan dan caranya berjalan terlihat menyedihkan. Sementara gadis yang memanggil Masumi dari tadi masih menggema suaranya.

"Kau ada dimana...?" tangis wanita itu lagi, dia berjalan di sebuah koridor yang panjang dan sempit, gelap, dan penuh debu di sisi-sisinya. Tanpa sengaja, Mio berhasil melihat wajahnya lebih dekat. Pikirannya memacu, Mio seperti menyadari sesuatu.

"Kenapa...?" kata wanita itu parau, penampakannya berputar dan berganti lagi, apa yang Mio lihat berikutnya adalah sebuah lapangan yang luas dan gelap. Di tengahnya tampak sesuatu seperti lubang di atas tanah, namun Mio menyadari kalau bentuknya yang persegi terlalu rapi untuk disebut lubang biasa.

Penampakan itu menghilang, sesaat semuanya tampak putih dan tenang. Mio mengira semuanya telah selesai walau dia harus kecewa karena gambar baru kembali berputar-putar di otaknya.

"Masumi, kau ada di mana?" kata Wanita tadi yang kembali muncul, berjalan masuk melewati sebuah pintu tua. Apa yang terjadi berikutnya begitu mengejutkan sehingga Mio merasa kalau dia telah menjerit walau tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wanita itu ditindih oleh seorang pria, lehernya ditekan dengan begitu kuat sembari wanita itu berusaha melawan, tampak menderita karena kesulitan bernapas. Akhirnya, penampakan yang terakhir muncul, pemandangan yang paling mengerikan di antara semuanya. Seorang gadis dengan rambut pendek sebahu, memakai kimono putih dengan bercak darah yang begitu banyak sedang tertawa dengan histeris. Suaranya menggema begitu kuat membuat Mio serasa ingin pingsan. Gadis itu berdiri di sebuah ruangan yang luas dengan mayat-mayat yang begitu banyak, bergelimpangan di sekitarnya.

Dalam satu kejapan mata, pegelihatan itu menghilang dengan cepat. Mio terjatuh ke tanah karena kakinya yang mendadak kram sementara Mayu masih berdiri dengan memegang pintu di belakangnya, berusaha menahan diri agar tidak jatuh. Napas keduanya memburu, seolah-olah mereka baru saja berlari seratus meter.

"Yang tadi... itu apa...?" tanya Mio kepayahan, masih berusaha untuk mengejar napasnya.

"Aku tidak tahu... aku tidak tahu..." kata Mayu yang wajahnya tak kalah pucat dengan Mio. Tak mampu berdiri lebih lama, Mayu berusaha menyeret kakinya dan duduk di sebelah Mio. Keduanya membisu, antara takut, bingung, dan perasaan ingin pulang bercampur menjadi satu.

Sebenarnya, hal seperti ini bukanlah yang pertama bagi Mio dan Mayu. Mio mengerti kalau dia dan kakaknya tidaklah seperti anak pada umumnya. Ada sesuatu yang mereka miliki, sesuatu yang tidak dipunyai oleh orang lain. Sesuatu yang disebut indera spesial atau sixth sense kalau paman Kei menyebutnya.

Mayu mampu melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Masa lalu, masa depan, atau bahkan ingatan seseorang yang tertinggal di tempat tertentu. Masalahnya, Mio tidak pernah ingat kalau Mayu bisa mengendalikan kelebihannya ini. Kemampuannya bisa muncul di mana saja dan tanpa peringatan. Kadang kala, apa yang dilihat Mayu bahkan tidak jarang menjadi kenyataan.

Mio juga memiliki kemampuan serupa, walaupun tak sebanding dengan Mayu yang lebih sensitif. Apa yang bisa dilakukan Mio tak lebih dari mendengar suara yang aneh, atau perasaannya yang bisa merasakan bahaya yang akan tiba. Untungnya, hal ini tidak membuatnya terlalu berbeda dengan anak lain sehingga Mio masih mampu memiliki banyak teman. Berbeda dengan Mayu yang tak bisa terlalu akrab dengan siapa pun kecuali dengan Mio saja.

"Sudah kuduga, salah besar kalau kita berpikir bisa mendapatkan bantuan di desa ini, ini bukan desa biasa," kata Mayu lemah. Dia tampak menyesal. Mio sendiri tidak merespon karena dia tahu betul apa yang dikatakan Mayu memang benar adanya.

"Apa menurutmu kita kembali ke hutan saja?" kata Mayu mencoba memberi usul. Mio yang sudah lebih tenang sekarang tampak berpikir.

"Kita sudah sampai di sini kak, kakak tahu sendiri kan kalau di luar juga sama tidak amannya." jawab Mio. Dia membuka tas yang tadi ditemukannya di atas bukit, membukanya dan mengambil keluar foto yang mereka lihat sebelumnya.

"Lihat," kata Mio yang memberikan foto itu pada Mayu. "Wanita yang kita lihat tadi, bukan kah sangat mirip dengan wanita di dalam foto ini?"

Mayu melihat foto itu dengan seksama, berusaha mengingat-ingat kembali akan wanita yang dilihatnya tadi dalam penampakan yang didapatkannya.

"Kau ingat tidak kalau wanita itu terus menyebut nama seseorang?" kata Mio sebelum melanjutkan. "Dia terus mencari seorang pria bernama Masumi kan? Lihat potongan koran ini?"

Mayu melihat potongan koran yang kembali ditunjukkan oleh Mio. Dia segera menyadari apa yang Mio maksud. "Masumi Makimura... pria yang menghilang selama 10 hari di area ini?" kata Mayu bingung.

"Jadi benar kalau mereka juga tersesat di sini? Lalu kenapa pria itu membunuh wanita yang berusaha mencarinya?" tanya Mayu lagi.

"Aku tidak bisa menduga sampai sejauh itu. Kalau mereka tersesat di sini, semestinya mereka juga mencari jalan untuk pulang. Kalau kita bisa mendapatkan petunjuk yang mereka kumpulkan..." kata Mio sembari menoleh ke arah Mayu.

Mayu tidak menjawab, dia bisa mengerti maksud Mio. Namun apa yang dilihatnya tadi, fakta bahwa pria bernama Masumi itu telah membunuh benar-benar membuat Mayu merasa tidak tenang.

"Baiklah..." kata Mio sembari berdiri, memandang koridor yang ada di depannya. "Kita akan mencari tahu, tak usah ambil pusing dengan desa ini, asalkan kita sudah tahu jalan untuk pulang, kita segera pergi dari sini," kata Mio mantap. Mayu masih menatapnya, dia paham betul kalau sekali Mio sudah memutuskan, maka akan susah untuk membujuknya lagi. Mayu ikut berdiri dan mengangguk. Mereka pun mulai menjelajahi ruangan besar itu.

"Mio, jangan terlalu jauh," kata Mayu memohon. Mio berbalik dan tersenyum padanya.

"Aku tahu," kata Mio berusaha meyakinkan kakaknya, walau dia merasa kata-katanya itu lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. Pengelihatan yang mereka dapat tadi, jelas-jelas itu bukti kalau keberadaan mereka tidak diterima di rumah ini.

Mio berjalan mendekati pintu geser ganda yang ada di ruang tamu di samping tangga, namun tak peduli sekuat apapun Mio berusaha menggesernya, pintu itu tak mau bergerak sedikitpun. Tak punya pilihan, Mio berjalan menelusuri koridor menuju bagian belakang rumah sementara Mayu mengekor di belakang dengan hati-hati.

Saat sampai di tengah koridor, Mio dan Mayu melihatnya lagi. Sosok wanita yang mencari Masumi itu berjalan dengan pelan namun wujudnya sedikit samar dan tidak jelas. Mio sudah ingin memanggilnya sebelum ditahan oleh Mayu.

"Jangan...! Kita menjauh saja darinya," kata Mayu berbisik. Mio mengerti, dia tak ingin menakuti kakaknya lebih jauh. Bukankah wanita itu terbunuh oleh pria surveyor itu. Mungkin memang lebih baik menjauhinya saja daripada menyesal kemudian.

Mio melihat kalau koridor itu menyimpang ke arah lain yang juga berujung pada sebuah kamar. Sembari menggenggam tangan Mayu, Mio mendekati pintu kamar itu dan memasukinya.

"Sepertinya ini ruang belajar?" timpal Mayu kepada adiknya.

"Bisa jadi," jawab Mio singkat. Mereka memperhatikan ruangan itu, lebih gelap dari ruangan utama sebelumnya. Ruangannya sendiri berantakan dengan buku-buku yang tergeletak tak beraturan di lantai. Berdiri berlawanan dengan dinding tampak sebuah altar kecil dengan ornamen aneh di tengahnya, Mio menduga ornamen itu dibuat dari kayu cendana. Mio berusaha menggeser meja belajar dan dia menyadari sesuatu. Sebuah senter, tak jauh dari kaki penahan meja.

"Senter! Dan masih berguna," kata Mio senang setelah mencoba menyalakannya dan berhasil.

"Aku merasa ada yang aneh," kata Mayu tiba-tiba.

Mio meliriknya, memperhatikan kalau Mayu sedang melihat sesuatu di sudut ruangan yang gelap. Penasaran, Mio menyinari sudut gelap itu dengan senter.

"Lihat," seru Mio ketika menyadari sesuatu tergeletak di sana. Sebuah kamera, berukuran lebih besar dari kamera yang pernah ada dengan ukiran-ukiran aneh di sekitar lensa dan lampu blitz-nya. Kamera itu cukup berat, Mio menduga kalau kamera itu termasuk benda antik. Mio berusaha mengintip lubang kamera sebelum Mayu tiba-tiba berusaha menghentikannya.

"Mio... tunggu!" seru Mayu yang terbukti sudah terlambat saat pengelihatan yang lain menderu keras dan memperlihatkan kejadian aneh lagi.

Mio melihat sebuah hutan yang lebat, tampak tak berwarna yang menandakan kalau semua ini hanya ilusi yang tidak nyata. Mendadak muncul seorang pria dewasa, terlihat cukup berusia dengan wajah yang berkarisma. Mengenakan kimono gelap, dia membawa sebuah kamera yang Mio yakini merupakan kamera yang sama dengan yang dia pegang sekarang.

Pria itu berdiri mematung, memandang sebuah altar batu besar dengan beberapa tali penuh mantera diikat di sekitarnya. Mio menyadari kalau altar itu adalah altar yang dilihatnya saat dia pertama kali masuk ke desa demi mencari Mayu.

"Jadi ini yang disebut 'Shaeiki'?" kata pria itu tiba-tiba. "Kamera yang bisa menangkap wujud yang tak mampu dilihat oleh mata biasa."

Pria itu masih menatap kamera yang dia pegang, cukup lama sebelum memutuskan untuk menggunakannya. Pengelihatan pun berubah seolah-olah Mio sendirilah yang menggunakan kamera itu sekarang, sedang mengintip melalui lubang kamera.

Kamera itu diarahkan ke altar. Sejenak, tak ada apa pun yang terjadi hingga pria itu memutuskan untuk menekan tombol kamera. Lampu flash berkedip terang dan entah muncul dari mana, puluhan tangan manusia, tampak samar dan nyata di waktu yang bersamaan, berusaha mencakar Mio, atau lebih tepatnya pria yang menggunakan kamera itu. Suara lolongan yang mengerikan terdengar menggema dan pria itu terjatuh, kamera yang dipegangnya terlempar jauh.

"Apa itu tadi...?" kata pria itu kaget. "Kamera ini... jadi apa yang dikatakannya benar... ini bukanlah benda yang boleh dimiliki manusia..." katanya lagi sebelum suaranya memudar, semuanya kembali menjadi putih dan Mio bisa mendengar suara Mayu yang memanggilnya sekarang. Badannya mulai bisa bergerak kembali.

"Mio!" panggil Mayu seraya menggoyang tubuh adiknya itu dengan kasar, membuat Mio terkejut dan menjatuhkan kameranya.

"M-mayu... aku baru saja melihat-"

"Aku tahu..." potong Mayu cepat sembari memeluknya. Mio masih bengong beberapa detik lamanya sebelum dia sadar dan mulai membongkar sekitarnya. Dugaan Mio benar saat dia mendapatkan sebuah tas berisi sebuah buku kecil dan lima benda aneh berbentuk persegi kecil berwarna biru, dua di antaranya berwarna hijau. Mio melihatnya lebih dekat. Benda kecil tersebut terbuat dari plastik tebal dan keras. Yang berwarna biru bertuliskan "Type-14" dan yang hijau walau berukuran sama namun terasa lebih tipis, bertuliskan "Type-61".

"Apa kakak pernah melihat benda seperti ini?" tanya Mio seraya menunjukkan semua benda itu pada Mayu yang segera menggeleng lemah.

"Coba saja lihat apa yang bukunya katakan tentang kamera ini?" usul Mayu yang segera dituruti oleh Mio.

Mio membuka buku yang lebih mirip memo tersebut sebelum membacanya.

Shaeiki / Kamera Obscura

Kamera ini dibuat oleh Dr. Kunihiko Asou dengan tujuan untuk menangkap wujud mistis yang normalnya tak mampu dilihat dengan mata telanjang.

Kamera ini bisa menangkap kenangan masa lalu seseorang di tempat-tempat tertentu. Kamera ini juga mampu menangkap sosok arwah yang seharusnya tak bisa dilihat oleh mata manusia.

Mengambil gambar makhluk halus dengan benda ini memiliki efek 'mengusir' namun di waktu yang bersamaan, akan menghubungkan pengguna dengan makhluk halus tersebut. Karena itulah, penggunaan yang tidak hati-hati dan terus menerus dalam jangka panjang malah akan membahayakan si pengguna.

Aku penasaran, bolehkah aku mengambil foto di jantung desa ini? Tempat di mana ritual terlarang itu dilakukan?

Andai saja Dr. Asou ada di sini, aku yakin, dia pasti sangat antusias mengenai rencanaku ini.

Seijiro Makabe.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Mayu setelah Mio selesai membacanya.

"Entahlah," jawab Mio singkat. Dia mengintip lubang kamera itu sekali lagi walau kali ini tidak ada pengelihatan seperti tadi. Penasaran dengan isinya, Mio membuka bagian belakang kamera yang terdiri dari dua sekat. Sekat di sebelah kiri terisi oleh benda plastik seperti yang Mio temukan sebelumnya di dalam tas sementara sekat di sebelah kanan kosong melompong. Sekat yang kosong itu memiliki beberapa ruas kecil, membuatnya bisa diisi oleh benda yang mungkin tebal tipisnya berbeda asalkan ukurannya masih sama.

Mio mengeluarkan benda plastik di sekat kiri, Benda itu ternyata sedikit berbeda jika dibandingkan dengan yang Mio lihat sebelumnya, lebih tebal, berwarna cokelat kekuningan dengan tulisan "Type-07" di permukaannya.

"Mungkin saja itu semacam 'film' yang harus dipasang agar kameranya bisa dipakai?" celetuk Mayu tiba-tiba. "Walaupun aku belum pernah melihat film yang seperti itu," lanjutnya lagi.

Mio berpikir sebentar, menyadari kata-kata Mayu mungkin ada benarnya, dia memasang benda yang kakaknya sebut sebagai film itu ke sekatnya kembali. Untuk sekat kanan yang kosong, Mio mencoba memasukkannya dengan film biru bertuliskan Type-14 dan ternyata berhasil. Mio memasang kembali penutup sekat dan mencoba kamera itu, menjepret ke sembarang tempat. Kameranya terbukti masih bisa digunakan.

Mio tersenyum pada kakaknya, bermaksud ingin mengatakan sesuatu sebelum terhenti. Mereka mendengar suara pintu belakang yang digeser, lalu suara orang yang berjalan, suaranya menyeramkan seolah-olah orang tersebut menyeret kakinya dengan susah payah.

Mio dan Mayu pun berdiri dan saling pandang. Ketakutan mulai menjalar di antara mereka karena suara tersebut terdengar semakin dekat. Detak jantung mereka berpacu, napas mereka memburu. Suara itu semakin jelas terdengar. Mio yakin, pemisah antara suara itu dengan mereka hanya dinding dan pintu di depan mereka saja sekarang. Saling menggenggam erat tangan masing-masing, Mio dan Mayu tidak berharap banyak selain agar suara itu menghilang. Masalahnya, pintu di depan mereka kini mulai bergeser.

End of Hour 3.

Shall continue on the next one; Mystery of Miyako Sudo

_________________________________________________________________________

Added Character Explanation part 1 :

Mayu Amakura (15 tahun, di cover dia duduk disebelah kanan)

Mayu adalah kakak kembarnya Mio. Pasif, pemalu, dan perhatian adalah sifatnya yang dominan. Dia memiliki indera keenam yang sangat spesial dan kuat. Karena kecelakaan yang dialaminya, Mayu tidak bisa berlari. Sebaliknya, dia selalu berjalan pincang.

Saat Mayu dan Mio masih kecil, mereka bermain kejar-kejaran di hutan. Mayu yang berusaha mengejar adiknya itu pun terpeleset dan jatuh. Mengakibatkan pincang permanen pada kaki kanannya.

Hal yang paling ditakuti Mayu adalah kalau dia ditinggalkan sendiri oleh Mio. Saat dia bersama Mio mengunjungi tempat bermain masa kecil mereka. Mayu melihat seekor kupu-kupu merah yang indah dan mengejarnya.

Mio Amakura (15 tahun, di cover dia duduk disebelah kiri)

Mio adalah adik kembarnya Mayu. Berani, cerdik, dan sedikit nakal adalah sifatnya yang dominan. Dia juga memiliki indera keenam, walaupun tidak sekuat yang dimiliki kakaknya. Saat masih kecil, Mio bermain kejar-kejaran dengan Mayu di hutan, mengejek kalau dia akan meninggalkan kakaknya sendirian kalau larinya lamban.

Mayu yang ketakutan pun akhirnya berusaha mengejar, namun malah terpeleset dan jatuh ke jurang yang cukup terjal, menyebabkan pincang permanen pada kaki kanannya.

Setelah insiden tersebut, Mio merasa sangat bersalah sehingga dia berjanji pada Mayu bahwa apapun yang terjadi, dia tak akan meninggalkan kakaknya lagi. Sejak itu, Mio selalu berusaha mengawasi dan melindungi Mayu.

Saat Mayu mengejar kupu-kupu merah di hutan, Mio yang khawatir pun segera mengejarnya.

Labels: , ,