Crimson Butterfly : The Fatal Frame -Separation-
Hai... Kami tau kalau kalian ingin mengunduh dan menonton kelanjutan dari Proyek kami, tapi dikarenakan staff yang berhubungan project tersebut pada sibuk, maka project tersebut mengalami pending .. :(
Nah sambil menunggu project yang kalian tunggu rilis kembali, mari membaca kisah Fatal Frame 2 : Crimson Butterfly dalam gaya Novel :D beberapa dari kalian mungkin sudah ada yang memainkan game ini yah ..
sebenernya bukan aku yg nulis sih, tpi aku udah dapat izin dari Author asli ny :D
_________________________________________________________________________
Crimson Butterflies; The Fatal Frame
By. Luna Sedata
All characters belong to Tecmo.inc as this is only one of fan fiction from Playstation 2, X-box, and Nintendo Wii Game. With this disclaimer, author owe nothing with Tecmo-Koei.inc
Mengisahkan tentang event yang terjadi pada game Fatal Frame 2: Crimson Butterfly. Ditulis kembali dengan gaya novel dan alur cerita yang cukup detail sehingga dapat dinikmati bahkan tanpa harus bermain gamenya. Tentu saja jika reader pernah memainkan gamenya akan memudahkan untuk mengikuti kisah ini. Well... enjoy the story.
Genre : Adventure, Horror, Tragedy, Fantasy.
______________________________________________________________________________
Hour 5 : Separation
“I’m sorry... i have to go... someone is calling me...”
~Mayu Amakura.
“Bagaimana sekarang?” kata Mayu panik sementara hantu Miyako itu mulai berjalan mendekat berusaha memojokkan mereka. Mio segera menjepret kameranya sembarangan, lampu flash menyala berkali-kali namun Miyako tidak terganggu sedikitpun. Sebaliknya, hantu transparan itu malah semakin menyeringai kejam, berusaha menjangkau Mio kembali yang berhasil mengelak di antara celah tangan dan badan si hantu. Sayangnya, Mayu tidak seberuntung itu. Dengan sekali cengkeraman di leher, Mayu terdorong dan tak bisa lari di antara sudut dinding.
Mio bingung, dia sudah menduga kalau kamera yang didapatkannya tidaklah sehebat itu. Berniat memancing perhatian Miyako, Mio mencari apapun yang bisa dipakainya untuk melempar si hantu, kebetulan ada porselen kecil di atas lemari di sisinya. Namun alih-alih mengenai Miyako, porselen itu menembus badan transparannya begitu saja. Melihat Mayu yang menjerit membuat Mio semakin panik tak terkendali.
“Aku harus bagaimana? Harus bagaimana?” katanya meracau. Tiba-tiba saja, Mio menyadari lampu pada kamera yang masih dipegangnya terus menyala merah. Sebenarnya, setiap kali Miyako menampakkan diri, lampunya memang merah menyala dan kembali padam seiring menghilangnya sang hantu. Kalau kamera Obscura punya kemampuan deteksi yang tepat seperti itu, seharusnya kamera bersangkutan memang punya kemampuan mengusir hantu.
Mio teringat lagi dengan kata-kata Mayu yang menyindirnya tidak pandai menggunakan kamera, fakta bahwa Mio memang hanya asal jepret sedari tadi. Mio memutuskan untuk sekali lagi menuruti saran kakaknya, mengintip sang hantu melalui lubang kamera antik itu dan menyadari sesuatu yang berbeda.
Mio bisa melihat layar frame yang terdiri dari deretan tulisan kuno seperti mantera membentuk sebuah lingkaran. Memastikan sosok Miyako ada di tengah-tengah lingkaran. Mio sadar kalau frame kameranya mulai bersinar, deretan tulisan itu transparan pada awalnya, sebelum mulai bercahaya keemasan dan menjalar searah jarum jam. Mio tidak bisa menunggu lebih lama, takut Mayu tak bisa bertahan, Mio menjepret Miyako, menyebabkannya terdorong pelan. Walau terlihat masih kuat, setidaknya dia melepas Mayu dan menghilang.
Mio berlari mendekati kakaknya yang masih terbatuk-batuk.
“Kak, kau tidak apa-apa?” tanya Mio khawatir. Leher Mayu terasa dingin dan wajahnya tak bisa lagi dibilang hanya sekedar pucat.
“Jangan khawatirkan aku... hantunya belum pergi,” kata Mayu dengan napas memburu. Mio segera mengawasi sekitarnya dan benar saja, Miyako kembali muncul beberapa meter di depan mereka. Tampak tenang sebelum mulai mendekat lagi, hendak menyerang untuk kedua kalinya.
Mio mengulangi cara yang dilakukannya tadi, memastikan hantu yang berani menyerang kakaknya itu berada dalam jangkauan tangkap kamera. Frame gaib kamera pun kembali mengisi energinya searah jarum jam, kali ini Mio membiarkannya terisi penuh hingga seluruh lingkaran berubah merah. Saat Miyako sudah begitu dekat, Mio melepas energi kamera itu.
Lampu flash bersinar terang dibarengi terpentalnya si hantu dengan jeritan keras. Begitu kerasnya sehingga telinga Mio mendengung sakit. Miyako kembali menatap mereka, menangis sebelum menghilang lagi. Mio menoleh ke arah Mayu yang masih tak mampu berdiri di belakang. Mayu menggelengkan kepalanya dengan khawatir, tanda bahwa Miyako masih ada di ruangan itu, mengintai mereka entah dari mana.
Ini adalah pertama kalinya Mio merasa senang karena kakaknya memiliki indera keenam yang sensitif. Berkat Mayu, dia tidak terkecoh dengan hantu yang pura-pura menghilang itu.
“Mio!” seru Mayu seraya menunjuk sisi kanan adiknya. Mio pun mengerti dan segera mengarahkan kameranya. Miyako lagi-lagi menyeret kakinya yang transparan itu. Gerakannya kian lamban, sepertinya tembakan kuat sebelumnya telah membuat hantu itu melemah, Mio tentu saja memanfaatkannya untuk mengisi energi kamera.
Frame akhirnya bersinar merah tanda kekuatannya telah maksimal, Mio menjepretnya tanpa pikir panjang namun gagal. Miyako menghilangkan dirinya di saat-saat terakhir sebelum muncul kembali tepat di depan Mio. Panik, Mio menekan tombol kameranya dengan terburu-buru namun tak ada efek yang berarti selain bunyi “klik” lemah. Rupanya, ada jeda waktu beberapa detik sebelum frame gaib bisa digunakan kembali.
Sang hantu berhasil mencekik Mio. Mayu menjerit namun tubuhnya masih terlalu kaku untuk digerakkan. Mio sendiri berusaha melawan untuk beberapa lama sebelum dia segera lemas, hawa dingin menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhnya, detak jantungnya mulai melemah. Di saat-saat terakhir, Mio melemparkan kameranya kepada Mayu yang segera menangkapnya.
Mayu tidak membuang kesempatan yang Mio berikan. Dia menggunakannya dengan baik, mengarahkan kamera ke arah Miyako sementara frame mulai bersinar dari transparan menjadi kuning lalu merah menyala. Mayu menembak tepat ke arah wajah Miyako yang menjerit bahkan lebih keras dari sebelumnya. Hantu itu mundur beberapa langkah sembari menutup wajahnya karena kesakitan, wujudnya semakin memudar sebelum pengelihatan yang baru kembali menelan Mayu dan adiknya.
Seorang pria, pria surveyor yang tak lain adalah Masumi memasuki rumah Osaka dengan tubuh penuh darah dan baju yg robek parah. Berjalan memasuki kamar belakang, Miyako yang menyadari kepulangannya menyusul Masumi dengan khawatir. Masumi hanya berdiri diam, tidak mempedulikan Miyako yang memanggilnya. Lalu pembunuhan itu pun terjadi. Tanpa peringatan, Masumi mendorong Miyako, menindihnya sebelum mencekik lehernya dengan kuat. Miyako berusaha menjerit dan melawan, namun kakinya sendiri masih terluka dan badannya masih letih. Di detik-detik terakhir sebelum napasnya putus, Miyako bertanya pada kekasihnya itu dengan suara yang hampir hilang karena kerongkongannya yang telah hancur.
“Kenapa...?” tanya wanita malang itu sebelum semuanya hilang menyatu dalam kegelapan total.
Mio membuka matanya, pandangannya masih berkunang-kunang setelah pengelihatan barusan. Terbaring kaku dan tak bisa bergerak, badannya seperti mati rasa. Mio masih bisa melihat Mayu yang berusaha berdiri, menyeret kedua kakinya dan berjalan mendekat. Pandangannya semakin samar saat Mayu memegangnya. Mio masih berusaha menggenggam tangan sang kakak sebelum pingsan tak sadarkan diri.
***
Perlahan namun pasti, kesadaran Mio mulai kembali. Dia terbaring di atas kasur yang nyaman dengan selimut membungkus seluruh badannya, memberinya kehangatan ekstra di antara dinginnya malam.
Mio membuka matanya, pandangannya masih berkunang-kunang walaupun tidak separah sebelumnya.
“Kak?” panggil Mio yang berusaha mencari sosok Mayu. Dia masih mengucek-ngucek matanya sebelum sadar bahwa dia tertidur sendiri tanpa Mayu di sampingnya.
Panik, Mio segera bangun dan melihat sekitarnya sebelum sadar akan suara langkah kaki di luar ruangan. Berpikir bisa saja itu suara langkah kaki Mayu, Mio segera keluar dan mendapati Mayu yang sudah membuka pintu utama menuju luar desa dengan mudahnya. Sebuah pintu yang Mio yakin beberapa jam sebelumnya tak bisa dibuka sekuat apapun mereka mencoba.
“Kak! Kau mau kemana?” tanya Mio khawatir dari lantai dua.
Mayu berbalik dan memandang ke arah Mio sebentar. Ada perasaan aneh yang menjalar di batin Mio ketika melihat tatapan kakaknya itu. Satu hal yang pasti, sikap Mayu tidak seperti biasanya.
“Aku harus pergi... ada yang memanggilku...” kata Mayu sedih yang tentu saja tak bisa dipahami Mio.
“Pergi? Pergi kemana kak? Siapa yang memanggil kakak?” Tanya Mio sembari menuruni tangga dengan terburu-buru berusaha menyusul kakaknya.
“Maaf...” jawab Mayu lagi sebelum menutup pintu. Mio tak perlu berpikir panjang untuk menyusul kakaknya keluar. Namun gilirannya membuka pintu, lagi-lagi pintu itu membandel dan tak mau bergeser.
Ruangan mendadak menjadi berkabut dan Mio bisa mendengar suara-suara mengerikan bergema di seluruh bagian rumah.
Beberapa bayangan yang gelap, bahkan lebih gelap dari langit malam muncul dengan pelan. Seiring waktu, bayangan-bayangan itu mulai terlihat seperti pria tua, memakai yukata putih yang sudah lusuh dan robek tak beraturan. Wajahnya yang keriput mengingatkan Mio pada wajah mayat yang sudah lama diawetkan. Mulutnya terbuka lebar dan Mio tak bisa melihat apapun kecuali kegelapan yang kosong di dalamnya, kedua matanya juga sama gelapnya. Wujud hantu ini bahkan lebih mengerikan dari Miyako, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak sendirian. Jumlah mereka ada tiga sembari mendekat bersamaan berusaha mengepung Mio.
Fakta bahwa tiga hantu itu bergerak sangat lamban, bahkan lebih lamban dari Miyako, membuat Mio mampu bersikap lebih tenang. Walaupun begitu, tak ada alasan bagi Mio untuk tidak bertindak cepat, terlebih dia harus segera menyusul Mayu.
Mio berlari dengan lincah ke arah tangga sebelum menaikinya menuju kamar lantai dua, hendak mengambil kamera yang pernah menyelamatkan nyawanya itu. Dari pengalaman sebelumnya, Mio menyadari bahwa sentuhan dari hantu tersebut bisa sangat fatal dan karena hal itu, Mio berusaha menjaga jarak sejauh mungkin.
Mio mengambil tasnya kembali, mengaitkannya di badan seraya meraih kamera yang tergeletak di samping kasur tempat dia tertidur tadi. Karena kamera Obscura tersebut dilengkapi tali pengait yang terbuat dari kulit, Mio menggantungnya di leher, memudahkannya untuk menggunakan dan membawanya kemana-mana.
Sesaat setelah Mio menyambar senter di atas lemari, tiga hantu itu akhirnya menyusul dengan menembus dinding. Harus Mio akui kalau wujud mereka memang mengerikan, namun adalah lebih mengerikan baginya kalau dia harus kehilangan jejak Mayu. Tak mau membuang waktu lagi, Mio menaikkan kameranya. Lampu flash pun bersinar terang menyilaukan ruangan itu berkali-kali. Mio menghabisi tiga hantu itu dengan mudah.
***
Mio membuka pintu utama menuju luar desa tanpa kesulitan sekarang. Sepertinya memang hantu-hantu tadilah penyebab utama pintu tak mau bergeser. Buktinya setelah mengalahkan mereka, pintu bersangkutan bisa digeser bahkan tanpa perlu mengeluarkan tenaga sedikitpun.
Mio menemukan sesuatu yang berkilau di lantai di ruang tunggu yang ternyata adalah kalung milik Mayu yang berbentuk Magatama. Kalung tersebut sebenarnya ada dua, dan yang satunya lagi dipakai oleh Mio. Mata kalung milik Mio berbentuk magatama berwarna putih sementara punya Mayu berwarna cokelat terang dan kalau keduanya disatukan akan membentuk simbol yin dan yang.
Kalung itu diberikan oleh ibu mereka saat Mio dan Mayu masih kecil dengan pesan bahwa jika saja Mio dan Mayu harus terpisah, maka kalung itu akan membantu mereka untuk saling bertemu kembali. Melihat Mayu meninggalkan kalung itu begitu saja membuat perasaan Mio semakin tidak enak. Setelah memungut kalung Mayu dan menyimpannya ke dalam tas, Mio pun bergerak maju membuka pintu terakhir rumah Osaka.
Mio kembali menghirup udara segar setelah berhasil menjejakkan kakinya di luar rumah. Dia segera berlari lebih jauh memasuki desa yang masih penuh misteri itu. Bukankah tadi Mayu mengatakan kalau ada seseorang yang memanggilnya? Hal paling logis yang bisa Mio pikirkan adalah Mayu tidak mungkin ke arah hutan, mengingat tidak ada seorang pun di sana selain beberapa obor dan batu nisan serta gerbang kuil yang rusak. Walaupun bisa jadi yang memanggil Mayu bukan manusia.
Mio berlari melewati beberapa reruntuhan rumah tanpa penerangan obor sama sekali, praktis membuat jalan di sekitarnya lebih gelap dari biasanya. Untungnya, senter yang ditemukan Mio masih bekerja dengan baik. Mio tidak takut senter itu kehilangan energi karena dia masih memiliki empat baterai cadangan.
Jalan di desa sendiri akhirnya membelok ke kanan dan tepat di sana, Mio melihat ada dua rumah yang bahkan lebih besar dari rumah Osaka. Dibangun secara artistik dan terletak berdampingan dengan jalan desa sebagai pemisahnya. Kedua atap rumah itu sama bentuknya namun yang paling unik adalah adanya sebuah jalan khusus, berbentuk jembatan panjang yang penuh ukiran unik di kedua sisinya, menghubungkan kedua rumah itu satu sama lain di lantai atas dua rumah besar itu.
Mio menyipitkan matanya seraya menyinari jembatan unik itu dengan senter. Dia bisa melihat papan kecil menempel di dindingnya.
“Jembatan Langit...?” ucap Mio penasaran setelah membaca papan kecil itu. Mendadak saja, Mio mendengar suara seperti gerbang yang dibuka tak jauh dari tempatnya berada. Penasaran, Mio pun berlari ke arah sumber suara melewati jembatan dan dua rumah unik itu.
Jalan berujung buntu dengan sebuah gerbang tinggi besar yang terbuka lebar. Mio melihat Mayu yang berjalan pelan melewati gerbang itu, berusaha memanggil sang kakak namun lagi-lagi panggilan Mio tidak digubris olehnya. Sama persis dengan kejadian saat Mayu mengejar kupu-kupu di hutan dimana Mayu tidak peduli dengan panggilan Mio sedikitpun.
“Kak...! kau mau kemana?” seru Mio sembari mengejar namun terlambat saat gerbang itu menutup sendiri dengan cepat begitu Mayu sudah melewatinya. Bunyi "klik" keras terdengar dua kali membuat Mio tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gerbang itu baru saja mengunci dirinya sendiri, seolah-olah mengerti kalau Mio hendak menerobosnya.
Mio memperhatikan gembok kuncinya yang rumit, berbentuk sepasang kupu-kupu dengan dua lubang yang aneh di dua sisinya. Mio menyadari dibutuhkan dua kunci untuk membuka gerbang besar itu. Menyelidiki lebih jauh, Mio mendengar bunyi arus air yang deras, membuatnya berpikir adanya sungai yang membentang di sana.
“KAK...! APA KAU BISA MENDENGARKU?” Seru Mio nyaring namun sia-sia saja karena tidak ada jawaban dari Mayu.
Mio mencari dinding gerbang yang lebih rendah dengan niat ingin mencoba memanjatnya. Sayangnya, dinding itu dibangun dengan ketinggian yang sama dan tentu saja Mio tak mungkin memanjat apalagi melompatinya.
Tiba-tiba saja, Mio mendengar suara ribut-ribut, cahaya misterius mendekat dari belakang yang ternyata berasal dari obor tiga orang yang berjalan mendekat. Sesaat, Mio merasa senang karena mengira ada orang lain selain dirinya di desa yang aneh itu, walaupun dia harus kecewa setelah menyadari bahwa tiga orang yang berpenampilan seperti petani itu berbadan transparan.
Wajah mereka samar dan tidak jelas walaupun Mio masih bisa melihat sedikit ekspresi di sana. Salah satu dari mereka tampak membawa galah yang cukup panjang seraya memandang Mio dengan galak. Mio menyadari bahwa obor dan galah mereka juga terlihat sama transparannya dengan wujud mereka.
Mio kesal, merasa bahwa hantu-hantu yang ditemuinya sejak tadi sepertinya memang berniat ingin menjauhkannya dari Mayu. Siap dengan kameranya, Mio pun mulai beraksi, namun tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari ada sesuatu yang aneh dengan senjata andalannya itu.
Kamera Mio terasa lebih lemah. Saat Mio menembak dengan frame gaib terisi penuh, hantu-hantu itu memang terpental, namun sepertinya mereka tidak merasakan sakit sedikitpun.
Melihat gerak-gerik mereka yang sama lambannya dengan hantu pria tua di rumah Osaka, Mio menyadari kalau dia bisa melarikan diri dengan mudah. Walaupun begitu, Mio merasa berat untuk meninggalkan gerbang yang memisahkannya dengan sang kakak itu. Ngotot, Mio mencoba menembak dengan kameranya lagi yang terbukti tidak banyak membantu. Hantu-hantu itu hanya terseret mundur beberapa langkah sebelum kembali berusaha mendekati Mio dengan maksud ingin mengepungnya.
Mio semakin terpojok dan tak ada jalan untuk lari sekarang, kecuali kalau dia nekat melewati tiga sosok hantu itu. Mio berpikir bahwa situasi tak bisa lebih buruk lagi dari ini yang ternyata adalah sebuah kesalahan besar. Salah satu dari tiga hantu yang memegang obor itu berteriak menyeramkan.
“NONA YAE TELAH KEMBALI...! DIA ADA DI DESA...” seru hantu itu kasar dilanjuti dengan obor api yang secara bersamaan menyala di seluruh sudut desa. Sepertinya, semua hantu penduduk di desa itu terbangun karena teriakan tadi, siap mengepung Mio yang kini tak punya jalan untuk lari.
End of Hour 5.
Shall continue on the next one; Hide and Seek
Labels: Cerbung, Cerita, Fatal Frame
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home